Manusia Serakah, Arwana di Sungai Ketungau Punah

0
2945

super-redLINTASKAPUAS.COM,SINTANG-Puluhan tahun lalu, Sungai Ketungau di Kabupaten Sintang sempat menjadi sentra ikan Arwana. Namun, keserakahan manusia yang melakukan perburuan besar-besaran membuat ikan semakin sulit ditemukan. Bahkan masyarakat setempat menyebut ikan ini betul-betul sudah punah di sungai tersebut.

“Sekitar tahun 1980-an Sungai Ketungau memang menjadi sentra ekosistem Arwana (sceleropages formosus) yang melimpah. Khususnya Arwana jenis super red. Tapi perburuan ikan besar-besaran memang membuat ikan habis,” kata Harman Bujang Kama, Tumenggung Kecamatan Ketungau Hilir belum lama ini.

Awalnya, kata dia, keberadaan ikan ini tidak begitu dipedulikan masyarakat. Sebab, selain susah diolah untuk dijadikan bahan makananan, ikan ini juga tidak enak untuk dikonsumsi. Namun, semua berubah ketika pemodal besar datang ke daerah itu. “Cukong tersebut bersedia membeli ikan Arwana dengan harga yang cukup tinggi, yakni Rp 5.000 per ekor. Ukurannya sekitar dua jari orang dewasa,” katanya pada Kapuas Post belum lama ini.

Melihat peluang besar tersebut, perburuan ikan Arwana-pun dimulai. Ribuan ikan ditangkap untuk dijual. Semua berlomba-lomba mendapatkan ikan untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Pencarian tak hanya terfokus pada Sungai Ketungau, tetapi juga sampai ke anak sungai-anak sungai. Seperti Sungai Sayeh di Kecamatan Ketungau Hulu.

Konsekuensi dari perburuan itu, Rupiah juga tak henti-hentinya mengalir ke kantong warga. Sejumlah barang elektronik-pun mulai menghiasi sejumlah pelaku bisnis yang berhasil. Usaha jual beli ikan Arwana ini semakin mudah dan menjanjikan dengan keberadaan penampung-penampung lokal. “Bisa dibilang, tahun 1980-an adalah masa keemasan ikan Arwana di daerah ini. Semua orang berlomba mencari ikan Arwana dengan berbagai cara. Ikan yang dulunya hanya dijadikan ikan asin, kemudian diburu untuk mendapatkan uang,” kata pria 48 tahun ini.

Perburuan Arwana secara besar-besaran membuat ikan ini semakin berkurang. Puncaknya tiga tahun kemudian. Ikan mahal ini benar-benar semakin sulit dijumpai di Sungai dan anak sungai Ketungau sekitar tahun 1982 dan 1983. “Kalaupun bisa didapatkan, itupun dengan susah payah. Bayangkan saja, satu orang yang berburu pada masa itu, bisa mendapat 20-30 ekor Arwana dalam satu malam. Sementara, hampir semua masyarakat mencari ikan ini setiap malamnya. Tak heran, Arwana alam di Sungai Ketungau benar-benar habis dalam jangka waktu tiga tahun. Tumbuh kembang Arwana seakan menjadi mimpi ketika Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) semakin marak di Sungai Ketungau,” katanya.

Selain perburuan besar-besaran dan tak kenal waktu, kepunahan Arwana juga disebabkan metode tangkap yang ekstrim. Karena, penangkapan tak hanya dilakukan dengan waring, pukat atau alat tangkap lainnya, tetapi juga dengan membunuh induknya. “Dulu, kalau Arwananya besar, nangkapnya dengan cara ditombak. Dengan harapan, ikan tersebut menyimpan telur dan anaknya bisa dijual,” ucapnya.

Kini, masa keemasan Arwana super red tinggalkan cerita pahit. Karena, untuk sekedar mendapatkan bibit Arwana untuk budidaya, masyarakat harus membeli ke Suhaid, Semitau dan sejumlah Kecamatan lainnya di Kapuas Hulu. Padahal, tidak sedikit dulu warga Kapuas Hulu yang membeli ikan ini di Ketungau. “Sekarang semuanya serba terbalik, dulu menjadi penyuplai Arwana. Sekarang menjadi pembeli. Itupun dengan harga jutaan rupiah. Sekarang, di Sungai Ketungai jangankan mencari Arwana, mencari toman saja sudah susah,” ucap dia.

Usman Sema, warga Desa Nanga Ketungau menambahkan, untuk mendapatkan ikan Arwana pada masa itu sangat mudah. “Cukup turun ke jamban dekat rumah, kita dengan mudah menangkap Arwana. Saking banyaknya, penampungan ikan tidak hanya menggunakan aquarium, tetapi juga dengan tongkang,” katanya.

Mudahnya mendapatkan Arwana, membuat pemburuan besar-besaran mengabaikan motede tangkap, tak jarang cenderung merusak. Salah satunya penggunaan pukat ukuran kecil sekitar 4-5 inci. “Mungkin, kalau pukat ukuran kecil dilarang, ikan silok merah di Sungai Ketungau masih ada hingga sekarang,” katanya.

Kepala Desa Nanga Ketungau, Petrus David menuturkan, ketika perburuan ikan marak di Sungai Ketungau, kondisi kampung sangat ramai. “Saking ramainya, malam hari layaknya siang karena banyaknya lampu para pencari ikan yang turun ke sungai. Apalagi saat itu sebagian besar warga menggantungkan ekonominya pada sektor ini. Mengingat, harganyanya cukup mahal,” bebernya.

Rudi Zapariza, Project Leader WWF-Indonesia Program Sintang mengatakan hampir semua Danau di Kalimantan Barat kondisi ikan jenis Arwana sudah jauh berkurang, bahkan sudah tidak ada sama sekali. Wilayah-wilayah danau yang masih memiliki ikan Arwana secara alami biasanya masih menerapkan aturan-aturan pengelolaan danau baik aturan adat maupun kesepakatan masyarakat, itupun jumlah populasinya tidak begitu banyak lagi. “Semakin banyaknya aktifitas di wilayah danau-danau yang memiliki Arwana, maka semakin terancam perkembangbiakan Arwana secara alami,” jelasnya.

Mengenai kondisi Arwana di Sungai Ketungau, Rudi Zapariza mengaku belum punya data yang pasti apakah jenis tersebut sudah punah atau belum. “Kalau dalam kurun waktu 10 tahun tidak pernah diketemukan lagi oleh masyarakat dan tidak adanya upaya restoking terhadap species ini, maka indikasi kepunahannya cukup besar,” katanya.

Menurutnya, penyebab kepunahan Arwana yang paling besar adalah banyaknya perburuan yang tidak diimbangi dengan keberlanjutan menahan populasi. Cara penagkapan yang tidak ramah lingkungan seperti menggunakan pukat, warin dan jermal. Kualitas air danau yang sudah keruh akibat kegiatan-kegiatan eksploitasi di sekitar danau dan bahan kimia dari polusi yang dihasilkan seperti pestisida dan zat-zat beracun lainnya. “Di Sintang, hampir seluruh danau-danau dahulunya memiliki ikan jenis Arwana dengan berbagai jenis. Populasi berkurang memang dipengaruhi banyak faktor,” katanya.

Ia mengatakan, secara khusus untuk perlindungan, WWF di Sintang belum melihat Arwana sebagai faktor utama. Persoalan yang menjadi faktor utama adalah pengelolaan danau yang berkelanjutan yang bisa menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan. “Melalui kepastian pengelolaan, WWF percaya masyarakat yang berada di sekitar danau merupakan aktor penting yang harus menjadi bagian dari pengelolaan danau melalui perencanaan,pemanfaatan dan perlindungan danau akan menyelamatkan biodiversity lain termasuk Ikan Arwana,” ucap Rudi.

Selain peran masyarakat, pelestarian Arwana memerlukan dukungan pemerintah. Salah satunya dengan berjalan berdampingan bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) untuk melindungi areal Danau dari beberapa ancaman terhadap kawasan tersebut. Seperti mengawasai izin-izin perusahaan sawit yang mengancam kawasan Danau, pengaturan dan pelarangan bagi Illegal aktifitas seperti PETI dan perburuan. “Selain itu memperkuat kelembagaan lokal dan masyarakat dalam mengelola kawasan danau tentu akan memperkuat keberadaan species endemik dan langka yang berada di Danau tersebut,” tukasnya.

Kepala Seksi Wilayah II, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD) Kalimantan Barat, Hadiatul Sidik menegaskan pemburuan terhadap ikan Arwana yang berasal dari alam dilarang oleh Undang-Undang. “Yang boleh diperjualbelikan hanya ikan Arwana dari penangkaran yang mempunyai izin resmi. Baik sebagai penangkar maupun pengedar. Di Kabupaten Sintang ini hanya satu penangkar resmi yakni di Kecamatan Sepauk,” bebernya.

Ia menjelaskan, berdasarkan penilian SSC (Species Survival Commision) of IUCN (International For Conservation of Nature and Natural Resources) ikan Arwana termasuk jenis yang terancam punah dan dimasukan dalam Red Data Book sejak tahun 1969. “Pada tahun 1975, perlindungan terhadap ikan Arwana diperkuat dengan dimasukannnya jenis ikan ini dalam daftar Appendix I CITES (Conservation Of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang merupakan golongan tumbuhan dans atwa liar yang sangat langka. Sehingga, pemanfaatannya harus diawasi ketat yaitu hanya untuk keperluan konservasi, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Bukan untuk keperluan komersial kecuali berasal dari penangkaran,” jelasnya.

Ia menambahkan, di Indonesia sendiri, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/Um.10/1980, jenis ini dimasukan dalam satwa liar yang dilindungi Undang-Undang dan dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sebelumnya, pada tahun 1978 melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978, Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional yang mengatur perdagangan flora dan fauna langka (CITES). Artinya, Indonesia mengikat diri dan tunduk pada ketentuan CITES dalam mengatur perdagangan flora fauna langka termasuk Arwana,” urai Hadiatul Sidik.

Mengenai kondisi silok di Sintang, saat ini sudah punah sama sekali. Ia membenarkan pemburuan besar-besaran di Sungai Ketungau menyebabkan ikan mahal ini tak bisa lagi dijumpai di sungai air tawar Bumi Senentang.