NKRI Ditapal Batas dan `Jalan Tikus`

0
2961

Pos Pamtas Semareh adalah satu dari dua pos pengamanan perbatasan di Kecamatan Ketungau Tengah yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia Timur . Di Sintang sendiri, total ada 7 pos pengamanan perbatasan. Kali ini, Kapuas Post akan menceritakan pengalaman ketika menyambangi Pos yang terletak di Dusun Semareh, Desa Nanga Kelapan ini.

Seperti inilah kondisi jalur pengamanan perbatasan menuju pos atas di Desa Semareh, Ketungau Hulu. FOTO : Yusrizal Bota
Seperti inilah kondisi jalur pengamanan perbatasan menuju pos atas di Desa Semareh, Ketungau Hulu. FOTO : Yusrizal Bota

Menyambangi dusun paling ujung perbatasan ini terbilang cukup sulit. Dari Sintang, Jum`at 13 januari 2011, saya bersama rombongan Kodim yakni Dandim Sintang, Letkol Inf Parlidungan Hutagalung, Pasi Intel, Lettu Witana, serta driver dari Kodim ditambah Streiger Metro TV Sukarmanto, berangkat dengan mobil double gardan buatan Amerika Ford, menuju Merakai, ibukota Kecamatan Ketungau Tengah.

Jalan yang dilewati relatif lancar, meski mobil Dinas Dandim Sintang sempat terjebak dilumpur dalam, ketika melewati jalan perkebunan sawit di sekitar Kecamatan Ketungu Hilir. Akibat memilih jalan kekanan yang jarang di lewati karena ada salah satu truk yang amblas di jalan tengah, mobil yang ditumpangi terpaksa ditarik oleh truk sawit dari arah yang berlawanan.

Ternyata, ruas jalan tersebut bukanlah satu-satunya jalan rusak menuju Merakai. Masih banyak spot-spot jalan lain yang dipenuhi lumpur dalam, yang siap menelan mobil kedalam lumpur. Saya pastikan, bila mobil yang kami tumpangi tidak menggunakan double gardan, entah berapa kali kami harus `berendam` di lumpur tersebut.

Tiba di Merakai, hari sudah mulai senja. Namun, Dandim menyempatkan waktu luang itu untuk meninjau kawasan yang akan di buat jalan melalui Program Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD). Didampingi oleh Danramil, Kapten Sukardi dan Sekcam Ketungau Tengah, Dakun ditambah rombongan dari Sintang, kami naik turun bukit yang cukup menguras tenaga.

Malam harinya usai meninjau jalan, rombongan kami menginap semalam di Merakai. Keesokan harinya, Sabtu (14/1), kami berangkat lagi ke Semareh, Desa Nanga Kelapan, desa paling ujung Ketungau Tengah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Dari Merakai menuju Senangan kecil, kami naik tambang air. Setelah itu, dilanjutkann dengan mobil Hillux berban besar menuju Semareh.

Semula, perjalanan kami lewati cukup lancar dari Senangan Kecil menuju Nanga Seran. Karena jalan cukup mulus, meski tanpa aspal. Namun ternyata saya salah. Karena, seteleh melawati Desa Nanga Seran, jalan klasik yang penuh lumpur dalam kembali kami temui. Kondisi ini diperparah dengan kondisi jembatan yang sangat jauh dari kata layak.

Sepanjang perjalanan melawati sejumlah sejumlah daerah seperti Mungguk Gelombang-Sui Antu-Sepulau-Kelapan-Lubuk Gedang, Sungai Lalau, kami terpaksa berpegang erat di mobil. Karena jalan yang kami lewati, tak beda jauh dibandingkan lintasan Off Road. Dibutuhkan waktu tiga jam untuk sampai ke Dusun Samareh dari Senangan Kecil.

Tiba di Dusun kecil dibawah kaki bukit Kelingkang, disinilah perjalanan kami di mulai menuju Pos Pamtas Semareh. Kami berangkat pukul 12.40 dari Pos Semareh, bersama Kades Nanga Seran, Paulus Disi, Kopda Mulyadi anggota Satgas pamtas dari Batalyon 643 Wanara Sakti Pontianak, Kapten Sukardi, Pasi Intel Witana, Dandim Letkol Inf Parlindungan Hutagalung, saya sendiri dan rekan saya dari Metro TV.

Bila dibandingkan dengan Pos Pamtas di Kabupaten lain seperti Badau, Kapuas Hulu ataupun Entikong, Kabupaten Sanggau serta sejumlah pos perbatasan kabupaten lain di Kalbar, akses menuju perbatasan di Kabupaten Sintang-lah yang paling buruk. Betapa tidak, untuk menyambangi tiap pos, semuanya harus dilewati dengan berjalan kaki, karena yang ada hanya jalan setapak tanpa aspal yang penuh belukar dan medan sulit.

Kembali ke perjalanan kami menuju Pos Pamtas Semareh yang dimulai dari belakang perkampungan penduduk. Mula-mula, jalan setapak yang kami lalui, melintasi kebun masyarakat seperti kebun lada dan perkebunan karet. Perjalanan makin sulit ketika kami harus melewati jalan bekas ladang yang berlumpur dengan belukar yang nyaris menutupi badan jalan.

Tak sampai disitu hambatan yang harus kami lewati. Karena didepan kami, terbentang Sungai Ketungau yang cukup lebar dan berarus deras. Cukup sulit melintasi Sungai kabanggaan warga Ketungau ini. Akan tetapi, kami cukup terbantu dengan ditancapkannya tali-tali kecil dari rotan yang diikatkan ke sejumlah kayu yang ditancapkan ke dasar sungai. Untuk melewati sungai tersebut, terdapat kayu melintang yang kami gunakan sebagai pijakan. Ada beberapa sungai lain yang kami lewati sebelum sampai ke Pos Samareh, namun Sungai Ketungau-lah yang paling rawan untuk dilewati, karena salah sedikit kita berpijak, maka akan ke sungailah kita tenggelam.

Usai melawati sungai Ketungau, kami dihadapkan pada jalan setapak di hutan yang berbukit-bukit. Bahkan tak jarang, kami harus melintas diatas kayu bulat melintang yang cukup tinggi dan berbahaya. Yang lebih ekstrimnya lagi, kami harus menuruni tangga kayu di tebing yang cukup dalam. Perlu kehati-hatian melewati tangga di bibir tebing terjal ini, salah sedikit pijakan, kita akan terhempas pada batu-batu tajam tak bertuan.

Dalam perjalanan, kami menjumpai sejumlah pelintas batas yang baru pulang dari Pasar Selepong, Negara Bagian Sriaman, Serawak Melaysia. Mereka membawa sejumlah barang dari pasar Malaysia. Salah satunya tabung gas elpiji, seng serta gula pasir. Tak hanya orang tua yang tampak melintas batas, bahkan ada anak kecil usia SD yang ikut serta dengan orang tuanya.

Empat jam perjalan sudah kami tempuh. Perlahan, perjalanan makin lambat karena kecapean. Tak terhitung sudah berapa kali saya berhenti. Bahkan, otot-otot saya mulai tak mau berkompromi untuk melewati medan yang melelahkan ini. Akhirnya, apa yang saya khawatirkan terjadi. Otot betis saya tertarik. Kondisi ini memaksa saya beristirahat cukup lama dan terpisah jauh dari rombongan. Tak cukup sampai disitu, ketika melanjutkan perjalanan kembali, satu jam sesusahnya saya kembali keram.

Meski harus menahan rasa sakit sepanjang perjalanan, namun saya tetap melanjutkan perjalanan jauh menuju pos Semareh. Akhirnya, setelah kurang lebih enam jam perjalanan, dari kejauhan tampak atap Pos Pamtas Semareh dari kejauhan. Sekitar pukul 16.29 WIB, akhirnya kami tiba di Pos yang ditinggali 22 orang personel TNI ini.

Sebagai orang sipil, ada sedikit kebanggaan ketika sampai ke pos perbatasan yang berada ditengah hutan Ketungau itu. Saya juga kagum dengan TNI yang konsisten bertugas di Pos Pamtas, meski pos tersebut terasing dengan dunia luar dengan jaringan telepon negera `Ipin Upin`. Perasaan saya campur aduk. Namun, ada ada sedikit perasaan yang menyesakkan dada, karena pemerintah sepertinya tak peduli dengan akses ke perbatasan. Karena, pejabat lebih suka melempar statemen ke media, ketimbang berbuat nyata untuk memperbaiki akses ke pos-pos perbatasan. Padahal, perbatasan adalah Beranda Depan NKRI.

Sekilas tentang pos perbatasan Semareh, Ketungau Tengah. Pos ini ukurannya cukup besar dengan bendera Merah Putih gagah berkibar didepannya. Dipintu masuk kedua Negara tersebut , terdapat landasan Helipad yang terbuat dari kayu. Helipad ini kerap digunakan oleh pejabat milter kita, ketika ingin meninjau langsung pos perbatasan. Naik sedikit ketengah bukit, terdapat Pos kecil untuk TNI berjaga. Tak jauh dari lokasi Pos jaga tepatnya dibawah pohon, tampak patok batas sederhana dari Semen segi empat sebesar betis. Inilah salah satu patok batas perbatasan Indonesia-Malaysia.

Istirahat sejenak di pos Semareh, rombongan kami menyempatkan minum kopi dan menyantap makanan di pos. Cukup lapar memang. Karena, sebelum ke Semareh, kami hanya menyantap makanan pagi di salah satu penginapan di Merakai, Ketungai Tengah. Tepat pukkul 17.00 WIB, rombongan kami pulang kembali ke Semareh disertai rintik hujan.

Semula, saya bersama rekan saya dari Metro TV berniat menginap di Pos Semareh. Karena, badan terasa sangat letih setelah berjalan jauh. Apalagi, dengan status wartawan harian media lokal di wilayah timur, aktivitas yang kami lalui biasanya menggunakan sepeda motor saja. Kalaupun berjalan kaki, hanya seperlunya saja. Makanya, badan kami cukup kaget ketika dihadapkan pada perjalanan jauh menguras tenaga. Namun, karena khawatir sungai Ketungau meluap karena sore itu hujan rintik-rintik, niat bermalam di pos kami urungkan.

Bersepakat melanjutkan perjalanan, kami akhirnya meninggalkan pos Pamtas Semareh pada pukul 17.00 WIB. Kali ini, rombongan yang turun bertambah satu orang. Ia adalah warga setempat yang baru pulang dari Pasar Selepong dengan membawa gula pasir. Bawaanya lumayan berat, sekitar 20-an kilogram. Bagi warga setempat, pulang pergi Semereh-Malaysia menjadi hal yang lumrah, meski dengan beban berat sekalipun.

Memutuskan pulang kembali ke Semareh dengan badan letih, rupanya cukup berpengaruh pada ketahanan fisik saya. Bila ketika pergi hanya otot betis saya yang keram, ketika pulang saya keram dibagian paha. Padahal, perjalanan kami baru saja dimulai. Setelah, beristirahat sejenak, saya akhirnya melanjutkan perjalanan.

Rupanya, putusan saya untuk beristirahat sejenak karena keram paha, membuat saya dan rekan Metro TV dan Kades Nanga Kelapan terpisah cukup jauh dari rombongan. Saya sempat khawatir dengan kondisi ini, karena diantara kami bertiga tak ada satupun yang membawa senter. Padahal, dengan medan hutan belantara, fasilitas penerangan jalan memegang peranan penting.

Saat hari beranjak gelap, kami masih bisa berpatokan pada batu-batu kapur yang berwarna putih dibadan jalan untuk melangkah. Namun, ketika perjalanan kami makin jauh kedalam hutan, perlahan batu kapur putih yang kami lewati berganti jalan setapak yang tak tampak kasat mata. Tak ada pilihan lain bagi kami, selain tetap melangkah tanpa ada lampu penerang.

Perjalanan kami, akhirnya hanya dibantu oleh sedikit sinar handphone. Kadang tersandung dan nyaris tergelincir. Salah satu medan yang cukup berat yakni tangga kayu yang berada ditebing batu akhirnya bisa kami lewati. Saya cukup lega, meski masih ada satu tangga kayu lagi yang harus kami lewati didepan, itupun jaraknya cukup jauh. Setelah berjalan cukup lama, kami bertiga akhirnya sampai ditangga tebing batu yang kedua.

Ditangga tebing batu terakhir, kami bertemu kembali dengan rombongan Dandim yang berada didepan. Salah satu dari mereka yakni Pasi Intel membantu dengan mengarahkan sinar lampunya pada tangga yang kami lewati. Rupanya, tertinggalnya kami dengan waktu cukup jauh tanpa membawa senter, membuat mereka khawatir. Mereka memutuskan menunggu kami diatas tebing batu.

Meski sukses melawati dua tangga tebing batu dengan selamat, perjalanan yang harus kami tempuh masih cukup jauh. Setalah beberapa jam perjalanan, kami akhirnyab tiba di Sungai Ketungau yang berarus deras. Ditempat inilah ujian sebenarnya yang harus kami lewati. Karena, seperti yang saya bilang tadi, salah sedikir saja berpijak, maka kita akan terbawa arus. Apalagi, kami melintasi sungai berbahaya ini dimalam hari, tanpa sinar bulan.

Satu persatu kami turun ke sungai. Dengan berpegangan tangan dan meraba-raba kayu pijakan dengan kaki, akhirnya satu persatu dari kami berhasil sampai ke seberang. Semua rombongan kami tiba dengan selamat sampai ke seberang.

Setalah Melawati Sungai kapuas, kami dihadapkan pada jalan setapak bekas ladang masyarakat. Bila pada siang hari jalan ini cukup mudah dilewati, namun pada malam hari kondisinya jauh berbeda. Karena, jalan yang dipenuhi semak dengan banyak lumpur dan air yang menjadi satu, membuat kaki terasa sangat berat untuk melintas. Ditambah lagi, kondisi jalan yang dipenuhi semak, membuat lampu tak bisa menjangkau jalan dengan baik.

Cukup lelah kami berjalan. Akhirnya, sekitar pukul 22.00 WIB, kami tiba di Dusun Semareh. Perlu waktu 10 jam bagi kami untuk pulang pergi dari Pos di desa Semareh ke Pos Pamtas Semareh. Bagi masyarakat yang terbiasa melintas batas sampai ke Malaysia serta anggota Pamtas yang berjaga di garus batas, waktu tempuh biasanya hanya sekitar 3,5 jam saja untuk pergi, atau total 7 jam untuk pulang pergi dari pos bawah sampai ke pos atas (izalbota)