Raja Realistis Dipenghujung Marwah

0
2657

Gusti Ismail dilantik menjadi Raja Tayan ke XIII ditengah kegamangan pasca kekosongan kekuasaansepeninggal Raja sebelumnya, Gusti Jafar dan hengkangnya kekuasaan Jepang atas bumi pertiwi. Sang Raja kemudian dihadapkan pada kenyataan terkait pengurangan drastis porsi kekuasaan olehsistem perpolitikan. Ia mungkin kecewa, namun tetap menjadi raja yang realistis, sehingga tak menunjuk raja pengganti.

Oleh: Tom John Budi Yanto

Keraton Tayan, Samping. FOTO_ BUDIYANTO
Keraton Tayan, Samping. FOTO_ BUDIYANTO

Tak banyak ingatan para anak Raja ke XIII kerajaan Tayan tentang sosok Gusti Ismail bin Gusti Tamjid yang bergelar Panembahan Anom Paku Negara. Jika bertanya pada beberapa anaknya, ingatan paling kuat adalah soal ketegasan mengatur segala suatu oleh sang ayah yang merupakan anak ke-21 dari 22 bersaudara keturunan Gusti Tamjid, Raja Tayan ke XI tersebut. Raja ke XIII ini juga dikenal kaum kerabatnya sebagai orang yang lebih senang memberikan teguran atau nasehat dengan simbol-simbol kejadian tertentu, ketimbang menegur secara langsung. Sehingga perkataannya sering membuat orang berfikir terlebih dahulu tentang makna dalam sebaris kalimat yang diucapkannya.

“Abah (ayah-pen) sering mengingatkan agar kami para saudara tak boleh bertengkar satu sama lain. Ia selalu menegaskan, jika kemudian terjadi pertengkaran, maka yang akan mendapat hukuman pelasah (pukul-pen) adalah saudara yang lebih tua, karena beliau berharap agar yang tua menjadi pembimbing,” kenang Gusti Syafiudin, anak kedua Gusti Ismail pada harian ini saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.

Oleh karena sikap tegas Abah-nya, ia dan saudara-saudaranya yang lain tak berani bertengkar. Karena saudara yang tua didorong rasa takut dihukum, sementara yang muda takut jika saudara tuanya dihukum pelasah oleh sang Abah. “Abah juga berpesan agar kami saling menjaga,” kenangnya.

Ditambahkan pria yang akrab disapa Abah Agus ini, jika kemudian sang Abah hendak menegur anak-anaknya, maka teguran itu kerap didahului dengan sebuah kisah perumpamaan, sehingga dirinya dan beberapa saudara tertua akan berupaya mengambil pelajaran bijak dari kisah tersebut. “Diaselalu berusaha menjadi bijak untuk menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi,” tukas Agus.

Lewat kisah Agus dan sejumlah fakta sejarah, Gusti Ismail adalah salah seoarang saksi berakhirnya masa kekuasaan kekeratonan, dan pengurangan—jika tak ingin menyebutnya pemberanggusan—peranan raja secara perlahan oleh sistem perpolitikan dan pemerintahan. Padahal kekuasaankekeratonan itu adalah kearifan lokal purba, yang mana sudah ada sejak republik ini belumberdiri. “Karena saat Abah menjadi raja, berbagai peristiwa penting peralihan dan pengurangan kewenangan raja memang diberlakukan secara perlahan,” timpal Agus.

Gusti Ismail sendiri dilantik pada 9 September 1945, setelah hengkangnya penjajah Jepang dari Tayan. Sebenarnya ia dan Gusti Machmud—Anak ke sembilan yang turut ditangkap Jepang bersamaan dengan penangkapan Gusti Jafar, Raja ke XII Tayan—adalah putra mahkota yang sah–pewaris tahta Gusti Tamjid. Lantaran dua putra mahkota belum cukup usia, dilantiklah Gusti Jafar yang rencananya menjabat raja hingga kedua putra mahkota ini siap dipilih salah satu untuk dilantik menjadi raja Tayan.

Namun penangkapan tokoh masyarakat dan seluruh raja keraton di Kalbar oleh Tentara Jepang dan pembantaian masal dalam peristiwa Mandor, membuat semua rencana itu buyar. Karena pewaris tahta sah selain dirinya yakni Gusti Machmud sudah di tangkap Jepang bersamaan dengan penangkapan Gusti Jafar dan belakangan diduga sudah dieksekusi para tentara Jepang dalam tragedi Mandor. Sebagai putra mahkota, Gusti Ismail kemudian naik tahta. “Sebelumnya memang keraton sempat mengalami vakum kekuasaan, karena para keluarga raja, kerabat istana dan masyarakatTayan khawatir jika dilantik raja baru, bisa jadi nasibnya bakal sama dengan raja-raja lainnya,” tuturAgus.

Pasca pelantikan Gusti Ismail menjadi raja, situasi juga tak kalah genting. Dimana-mana sedang ada perlawanan terhadap keinginan NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie;Pemerintahan SivilHindia Belanda-red) untuk menduduki kembali bumi Indonesia.

Tak hanya itu, upaya Gusti Ismail menjaga marwah keraton dan mengukuhkan eksistensi kerajaan nyatanya memang tak mudah. Ia dihadapkan secara terang-terangan bahwa masa kerajaan sudahnyaris sampai di penghujung. Apalagi saat era presiden Sukarno, khususnya setelah pelaksanaanKonfrensi Meja Bundar (KMB) pada 1950, Jakarta kemudian mengikis perlahan kewenangankepemimpinan para raja di seluruh daerah. Tercatat hanya beberapa kerajaan di Jawa saja yangmasih bertahan. Sementara di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Ternate-Tidore, penguranganporsi kekuasaan raja terus dilakukan. Secara sepihak, pemerintah pusat saat itu juga menilai bahwa sejumlah kerajaan dan kekeratonan di Nusantara adalah bagian feodalisme peninggalan Belanda.

Namun pengekangan atas kearifan lokal itu kemudian di beberapa daerah menimbulkan gejolak perlawanan. Oleh karena itu dengan hati-hati kemudian Jakarta mengakui pemerintahan kekeratonan, namun dilakukan pengurangan drastis kewenangannya. Cara yang ditempuh Jakarta kemudian adalah, dengan merubah sebagian besar kekeratonan yang tercatat menjadi daerah Swapraja. Raja-raja yang saat itu masih aktif memimpin kekeratonan diangkat menjadi kepala Swapraja. Belakangan kepala Swapraja juga dilantik menjadi pegawai negeri sipil untuk ditugaskanmenjadi Wedana (setingkat dibawah Bupati-pen) di daerah masing-masing.

Demikian halnya dengan Gusti Ismail yang saat itu menjadi Raja ke XIII Tayan. Setelah menjadi Wedana Tayan-Meliau, pergeseran politik dan pengikisan kewenangan itu juga masih dilakukan oleh pusat. Langkah tahap terakhir itu kemudian membuat Jakarta membuat keputusan bahwa para Wedana diperbantukan ke Ibu Kota Kabupaten. Gusti Ismail lantas dipindahkan ke KabupatenSanggau. Tak sampai dua tahun, Ia kemudian mengajukan pensiun dini dan kembali ke Tayan, dan menetap di Keraton itu hingga wafat tahun 1967. Toh hingga akhir hayatnya, oleh masyarakat Tayan ia masih diakui sebagai raja mereka. Sapaan “Tuanku” juga melekat pada Gusti Ismail hingga ia tutup usia.

Saat Gusti Ismail memerintah, kewenangan raja memang sudah jauh berkurang. Karena berbagai urusan strategis pengelolaan kawasan diambil alih oleh pemerintah pusat. Gusti Ismail menjadi saksi sejarah pergeseran politik dan kebijakan republik ini dalam mengatur keraifan lokal, termasuksebuah kerajaan yang dipimpinnya. Meskipun kerajaan Tayan pernah Jaya sejak abad ke XVIII hingga abad XIX dan mampu mengelola pemerintahan sendiri jauh sebelum republik ini lahir.

Beberapa kerabat kerajaan mengungkapkan bahwa sang-raja dihadapkan pada pilihan sulit, yakni eksistensi marwah kekeratonan atau bersedia berubah mengikuti alur politik dan sistem yang diberlakukan oleh Negara. Kenyataannya—dengan realistis—ia lebih memilih kesetiaan pada Republik.

Ia pun sepertinya dengan sengaja tak mewasiatkan siapapun dari 15 anaknya untuk menjadi penerus. Apalagi sifatnya yang lebih senang membuat orang bijak dengan sendirinya. Selain itu, pengabaian tak langsung akan keraifan lokal kekeratonan karena perubahan sistem pemerintahan juga diduga menjadi salah satu penyebab sikapnya hingga akhir hayat . “Mungkin saat itu Abah berpandangan realistis dengan melihat kenyataan bahwa tak terlalu banyak lagi fungsi sebutan Raja, meski untuk mengatur daerahnya sendiri,” papar Agus.

Namun, jaman nyatanya tak berhenti berubah, pasca reformasi, sejumlah kearifan lokal berupa simbol pemerintahan masa lalu sebagai bentuk kekayaan khasanah budaya dan peradaban juga kembali digali oleh generasi saat ini. Atas dasar pelestarian budaya dan mempertahankan marwah, keluarga keraton dan anak-cucu dan kerabat Gusti Ismail, sekali lagi berkeinginan untuk meng-eksiskan kembali kerajaan warisan Gusti Lekar, Anak anak panembahan Dikiri Kusuma Raja Matan.

Sehingga kemudian putra bungsu Gusti Ismail, Gusti Yusri ditunjuk sebagai pewaris tahta sang ayah–sebagai Raja Tayan ke XIV–setelah dipilih lewat mufakat kerabat kerajaan dan disepakati tokoh masyarakat Tayan. Meski eksistensi ini juga dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi yang jauh berbeda dengan masa keemasan Tayan. “Ini juga soal menjaga dan mewariskan sejarah serta pemahaman kebudayaan kepada anak-cucu,” timpal Agus.(*)