LINTASKAPUAS.COM,SINTANG-Tenun ikat Sintang yang mendunia ternyata menyimpan sejumlah persoalan. Diantaranya sulit mendapatkan bahan baku alami. Baik berupa kapas maupun bahan pewarna alam. Anastia (35), perajin tenun dari Desa Umin Kecamatan Dedai mengatakan, untuk mendapatkan bahan baku alami, sejumlah warga desanya terpaksa memanfaatkan pekarangan. “Bahan yang bisa ditanam di pekarangan juga terbatas. Yang kami tanam biasanya mengkudu. Kulit akar kayu ini biasa kami gunakan sebagai pewarna alami,” katanya.
Ia mengatakan, sulitnya mendapatkan bahan baku alami karena lahan semakin terbatas. Selain digunakan untuk kebun karet, lahan yang ada sudah menjadi kebun sawit. “Padahal, untuk mendapatkan tenun ikat dengan pewarna alami, kulit akar mengkudu yang dugunakan minimal berumur 7-8 tahun. Kalau kulit akar mengkudunya lebih muda, warnanya cepat pudar. Nah, untuk mendapatkan mengkudu berkualitas bagus, sulit bila mengharapkan dari pekarangan,” katanya.
Hal yang sama juga dikatakan Tini (57), perajin tenun ikat lainnya dari Desa Umin. Meski didesanya terdapat kebun kapas seluas setengah hektar, namun belum bisa optimal memenuhi kebutuhan perajin. “Apalagi bila musim kemarau tiba, menanam kapas menjadi pekerjaan yang susah dilakukan,” katanya.
Pengelola Koperasi Kerajinan Tenun Ikat Dayak Jasa Menenun Mandiri, Sugiman Karyaredja mengakui pembutan tenun ikat alami memang mengalami kesulitan bahan baku. “Bahan baku memang sulit, apalagi hutan dan lahan makin sedikit,” katanya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Koperasi Jasa Menenun Mandiri yang membina ribuan perajin melakukan budidaya tanaman pewarna alam. “Kami juga melakukan penanaman kapas untuk bahan baku benang, karena ada permintaan yang menginginkan kain ikat yang betul-betul alami dari alam. Mulai dari kapas hingga pewarna dan proses pembuatan yang alami,” bebernya.
Agar bahan baku yang dibudidaya tidak habis, kata Sugiman, pihaknya juga memberikan pembinaan terkait tata cara pengambilan bahan baku yang ditanam. “Salah satunya dengan meminta mereka tidak memotong akar tumpang, supaya tanamannya tidak mati. Dan budidaya tersebut bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan,” kata Sugiman.
Sri Rosmawati, Kepala Bidang Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM Sintang mengatakan bahan baku tenun ikat alami ada dua macam, yakni benang dan pewarna. Untuk menyediakan bahan baku tersebut memang diperlukan upaya yang komprehensif untuk melakukan perluasan areal budidaya. “Perlunya budidaya karena lahan makin sedikit akibat tersingkir oleh kebun kelapa sawit,” katanya.
Ia mengatakan, dirinya pernah membicarakan kesulitan lahan budidaya untuk bahan tenun ikat ke Dinas Perkebunan dan sejumlah perusahaan. Agar, menyisakan sedikit wilayah yang masuk areal perkebunan untuk kebutuhan masyarakat setempat, salah satunya budidaya tanaman untuk bahan pembuatan tenun ikat yang dimaksud. “Namun belum terealisasi hingga sekarang,” katanya.
Ia mengakui harga jual tenun ikat dengan bahan alami memang lebih mahal dibandingkan tenun ikat yang menggunakan bahan kimia hasil produski pabrik. “Karena, pembuatan tenun ikat alami prosesnya cukup lama dan sulit, kalau menggunakan bahan kimia lebih praktis dan cepat,” jelasnya.