LINTASKAPUAS I KETAPANG – Cuti Bupati Ketapang untuk mengkampanyekan sang adik Leo menjadi sorotan pengamat kebijakan publik.
Hal ini diungkapkan, Herman Hofi Munawar, dimana dirinya menyebut secara ketentuan setiap kepala daerah yang akan kampanye maka memang harus mengajukan cuti terlebih dahulu.
Kemudian dalam aturan tersebut pun cutinya tidak diatur berapa lama disesuaikan dengan kebutuhan.
Namun dirinya menilai dengan cuti yang dilakukan oleh Bupati Ketapang hanya setiap hari Jumat memang tidak melangggar hukum akan tetapi secara etika kurang tepat.
“Mestinya Bupati Ketapang mengajukan cuti sepanjang lamanya kampanye, Kalau cuti seperti ini memang tidak melanggar hukum tapi etikanya tidak tepat bagaimana pun juga tetap memiliki dampak yang cukup terhadap proses pemenangan,” ungkap Herman Hofi, Kamis (31/10), siang.
Lanjutnya, terutama menyangkut penggunaan fasilitas negara yang mungkin tidak secara langsung menggunakan fasilitas negara. Akan tetapi tetap ada unsur-unsur tertentu yang menggunakan fasilitas negara.
“Seperti dijabatan bupati itu ada dana taktisnya, bagaimanapun juga dana tersebut bisa akan terpakai dengan berbagai alasan. Sehingga perihal cutinya Bupati Ketapang ini bukan persoalan hukum yang dilanggar tetapi persoalan etika sebagai pejabat publik tidak tepat,” tuturnya.
“Namun sebaiknya bawaslu mengingatkan bukan persoalan melanggar hukum tetapi etika sebagai pejabat publik yang tidak tepat,” timpalnya.
Sementara itu, Pengamat Politik Kalimantan Barat Zulkarnaen menilai cuti yang diajukan oleh pejabat publik untuk melakukan kegiatan kampanye suatu paslon, dianggap adanya keberpihakan. Izin cuti, menurutnya, ada batas waktu. Terlebih cuti dilakukan untuk kegiatan kampanye. Sehingga dinilai ada keberpihakan.
“Seorang pejabat itu harus melayani semua pihak, dalam konteks besar yakni netralitas. Ini soal etik,” kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Untan Pontianak itu.
Meski secara perundang-undangan ini tidak dalam posisi formal, lanjut Zulkarnaen, bisa saja hal itu bukan suatu pelanggaran. Untuk itu, peran Bawaslu lah yang menentukan adanya suatu pelanggaran atau tidak terhadap izin cuti itu.
“Itu ranah nya Bawaslu untuk mencermati adanya pelanggaran atau tidak. Namun secara etik, itu kurang tepat,” jelasnya.
Lebih lanjut, kata Zulkarnaen, izin cuti untuk mengkampanyekan salah satu paslon, dikhawatirkan terjadinya penggunaan fasilitas negara dalam berkegiatan.
“Itu lah tadi soal etika yang dikhawatirkan. Bukan mustahil, bisa saja birokrasi yang ada itu dan yang menjalankan itu masih ada posisi sebagai bupati itu,” tuturnya.
(Ags)
